(Menu) Munggahan Pun Sudah Ketularan Instan
Ada sebuah tradisi unik menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Entah siapa dan dari mana tradisi ini dimulai. Namun ketika kecil dulu, saya selalu menanti-nanti dilaksanakannya tradisi ini: Munggahan.
Warga di sekitar lingkungan, akan berkumpul ketika acara Munggahan itu dilaksanakan. Biasanya di masjid-masjid, surau-surau, atau musala. Mereka bersilaturahmi, menggelar do’a, mendengarkan tausyiah, kemudian ini: saling bertukar makanan.
Makanan yang saling ditukarkan ini dibawa oleh masing-masing warga. Para ibu-ibu menyiapkan beragam menu, dari rumahnya masing-masing. Menu-menu ini biasanya pilihan. Enak-enak. Khas bulan ramadhan.
Karena sifatnya sekali dalam setahun, warga yang lebih mampu biasanya memberikan menu yang terbaik. Tujuannya agar bisa dirasakan oleh warga lain yang belum beruntung secara ekonomi.
Tak hanya dari segi kualitas, makanan yang dibawa pun cukup melimpah dari segi kuantitasnya. Satu porsi makanan yang dibawa, biasanya bisa dinikmati oleh satu keluarga yang menerimanya. Meskipun tidak semuanya begitu.
Karena porsinya yang terbilang jumbo tadi, makanan-makanan ini diletakkan dalam suatu wadah yang cukup besar. Biasanya baskom. Atau talam. Baskom dan talam ini biasanya dituliskan nama oleh sang pemilik. Hal ini untuk memudahkan pengembalian baskom ketika proses penukaran makanan dimulai.
Selain baskom dan talam, ada juga beberapa warga yang membuat wadah khusus dari batang-batang pelepah pisang. Dan ada juga yang dari anyaman bambu. Bermacam-macam. Kreatif dan sangat alami.
Lantas, kenapa saya sangat menanti-nanti tradisi munggahan ini? Berhubung kakek saya merupakan imam dan nazir masjid, makanan-makanan munggahan itu tadi dikumpulkan di rumah kakek, sebelum dibagikan untuk ditukar-tukarkan.
Ketika proses pengumpulan itu lah, saya kebagian tugas untuk menyusun talam dan baskom itu tadi dengan rapi. Lantas menghitungnya. Saat-saat menyusun dan menghitung itu jadi bagian yang saya gemari. Karena saya berkesempatan mengintip serta (sesekali) mencicipi (mencuil, mencomot satu dari sekian banyak potongan dalam satu baskom atau talam) makanan-makanan itu.
Jahat ya saya? Mungkin rata-rata anak kecil akan begitu. Alami. Meskipun saya harus ekstra hati-hati. Karena jika ketahuan, nenek saya yang saat itu masih segar bugar, pasti akan memvonis. Beliau biasanya akan menjewer atau mencubit saya.
Makanan munggahan ketika itu terbilang cukup wah. Menu yang disajikan ramai dan beragam. Misalnya, dalam satu baskom ada nasi putih. Porsinya untuk 4 piring, bahkan bisa lebih. Di bagian atasnya diberi urap. Lengkap dengan timun, tempe goreng, ikan asin, serta kerupuk. Di bagian samping nasi putih tadi, disajikan ayam goreng, jumlahnya beberapa potong.
Sementara pada talam di bagian lain juga tak kalah enak. Selain nasi kuning dengan sambal telur dan tempe iris, juga tersaji udang. Ukurannya juga besar-besar. Tak hanya sepotong, melainkan dua, tiga, atau bahkan lebih. Di bagian atasnya dilengkapi dengan lalapan. Juga semangka sebagai buahnya.
Bagaimana kini? Menu munggahan sudah lebih simpel. Mungkin karena zaman yang memang sudah serba instan. Tak ada lagi wadah baskom, talam, pelepah pisang, atau pun potongan bambu.
Tapi, itu tidaklah utama. Perbanyak amal di bulan Ramadhan jauh lebih penting. Karena dunia memang ladangnya akhirat.
Marhaban Ya Ramadhan.
Post a Comment