Negeri Atau Swasta?

BUKAN melulu harga daging sapi yang dipusingkan ibu-ibu rumah tangga sekarang. Atau maraknya peredaran beras palsu, atau listrik yang sering padam, atau harga sembako yang melambung tinggi, atau nilai uang yang kalah cepat larinya dibandingkan dengan harga barang.

Melainkan ini: “Harus melanjut kemana si anak setelah tamat. Sekolah berlabel Negeri, ataukah Swasta?”

Sudah menjadi rahasia umum jika, sekolah-sekolah berstatus negeri itu favorit. Masuk di (sekolah) negeri bisa membuat derajat martabat terangkat. Demikian juga gengsi, prestise, dan sebagainya.

Alhasil, orangtua siswa akan menjadikannya (masuk ke negeri) sebagai patokan, keharusan. Padahal kapasitasnya terbatas. Jumlah pendaftarnya membludak. Jauh melebihi daya tampug.

Jelas saja kondisi itu menjadi tidak ideal. Secara psikologi, bahkan bisa menyebabkan persaingan yang tidak sehat. Memaksakan kondisi. Padahal, ada banyak pilihan yang bisa diambil. Seandainya saja bisa bertindak bijak, dan pertimbangan yang matang.

Tapi, kenapa (sekolah) negeri menjadi keharusan? Bukankah swasta juga sama baiknya? Atau memang ada faktor lain?

"Kecenderungan harus masuk sekolah negeri merupakan fakta sosial," kata Ketua Harian Dewan Pendidikan Prov Sumatera Utara, Prof Dr H Syaiful Sagala SSos MPd.

Ada beberapa alasan yang menjadi faktor penyebab. Misalnya, keraguan terhadap manajemen di sekolah swasta.

“Kalaupun manajemennya bagus, biaya pendidikan biasanya lebih mahal,” lanjut beliau.

Pengaruh sosial ekonomi memang tak bisa dilepas dari masalah ini. Karena masuk atas dasar pertimbangan yang sama, biasanya gaya hidup siswa-siswa yang masuk di sekolah negeri itu relatif sama. Beragam strata sosial ada di situ. Sehingga orangtua tak perlu was-was terhadap kondisi perkembangan anaknya.

Meskipun demikian, secara kualitas, sekolah-sekolah swasta tak kalah dibanding dengan negeri. Beberapa di antaranya bahkan bisa melampaui sekolah negeri. Indikatornya: Prestasi. Misalnya dari ajang-ajang perlombaan tingkat pelajar, semisal LKS (Lomba Kompetensi Siswa). Atau O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa Nasional).

Sampai sejauh ini, sekolah-sekolah swasta mampu unjuk gigi. Bersaing dengan sekolah negeri. Bahkan untuk mata lomba yang berhubungan dengan teknologi canggih sekalipun.
Itu artinya apa? Bukan kah mereka (sekolah swasta) semakin berkualitas?

Pemerintah pun mungkin sudah mengendus fenomena itu. Sehingga sudah melakukan langkah terbaik yang harus dilakukan yakni: Pemerataan Kualitas.

Kini, pemerintah gencar melakukan itu. Misalnya, dengan melatih guru-guru, yang berasal dari swasta atau pun negeri. Terhadap beberapa mata pelajaran. Sehingga dianggap efektif.

Dengan komitmen pemerintah di bidang pendidikan saat ini, rasanya sekolah swasta tak perlu merasa iri. Karena perlakuannya kini telah sama. Baik negeri atau pun swasta, sama-sama diganjar Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Pencairannya pun kontinyu. Bertahap. Yang penting data-data siswa, sekolah, dan sebagainya dilengkapi.

Dana BOS membantu sekolah membiayai operasionalnya. Mulai dari kebutuhan ATK (alat tulis kantor), kebutuhan daya listrik dan air, perbaikan ringan gedung sekolah, bahan penunjang ujian semester, bahan praktikum, peralatan pendidikan, dan sebagainya. Semua kegiatan bisa dibiayai, asal sesuai petunjuk penggunaan dana.

Dengan adanya BOS, ‘lubang-lubang’ kecil di sekolah swasta dapat segera ditutup. Kualitas pun harusnya bisa didongkrak. Sehingga pemerataan kualitas pendidikan bisa dilaksanakan. Dan gengsinya sama dengan negeri.

Ke depan, ibu-ibu rumah tangga tak usah pusing-pusing lagi memikirkan kelanjutan sekolah anaknya, masuk negeri atau swasta. Karena sudah cukup pusing memikirkan sembako yang tak kunjung stabil.


No comments