Utak-atik Sistem Seleksi
Tiap tahun selalu saja
seperti ini: Ruwet. Bahkan hingga menjelang deadline, aturan Penerimaan Peserta
Didik (siswa) Baru (PPDB) ke sekolah-sekolah negeri, masih belum juga
dieksekusi. Belum matang. Perlu digoreng. Karena sepertinya masih kurang bumbu,
di sana, dan di sini.
Meskipun akhirnya
disosialisasikan, namun sepertinya sistem penerimaan itu menimbulkan polemik.
Membuat susah, hal-hal yang seharusnya mudah.
Untuk menjaring calon
siswa baru di sekolah-sekolah negeri, biasanya ada dua metode yang digunakan. Pertama,
metode tradisional. Metode ini merujuk terhadap hasil evaluasi nilai ujian
akhir. Apakah itu nilai Ujian Nasional (UN), Nilai Sekolah (NS), atau rerata
keduanya (NA: Nilai Akhir)
Karena dianggap mudah,
kebanyakan sekolah-sekolah negeri selama beberapa tahun terakhir, cenderung
menggunakan metode pertama ini. Alasannya: cukup cepat, dan efektif.
Petugas pendaftar cukup
mengentri data nilai calon siswa baru pada aplikasi yang digunakan. Kemudian
dilakukan perangkingan berdasarkan nilai tertinggi.
Nama-nama siswa yang dinyatakan
lulus seleksi, diambil dari peringkat tertinggi dari kuota yang telah
ditentukan itu. Setelah sebelumnya disesuaikan dengan daya tampung maksimal
sekolah. Sementara yang di luar itu, dinyatakan: Gagal.
Cara tradisional ini
dianggap cukup fair dan efektif. Sehingga sempat digunakan untuk jangka waktu
yang lama. Meskipun sempat diragukan, karena disinyalir ada beberapa sekolah,
yang dianggap obral nilai sekolah.
Metode yang kedua yakni
melalui testing. Saya menyebutnya semi tradisional, karena ada peran panitia
pendaftaran di situ. Di antaranya, menyiapkan instrumen soal, lembaran-lembaran
jawaban, dan sebagainya.
Siswa yang dinyatakan
lulus seleksi, merupakan peraih nilai tertinggi dari tes yang diadakan sekolah
penyelenggara. Nilai tes, dikeluarkan oleh panitia. Panitia pula yang bertugas
untuk memeriksa lembaran jawaban calon siswa itu.
Melalui testing, calon
siswa mempunya peluang yang sama untuk masuk ke sekolah-sekolah negeri. Karena
indikator, dan instrumen soalnya sama-sama belum diketahui.
Panitia merupakan pihak
yang paling ‘direpotkan’ pada saat musim-musim PPDB. Karena biasanya, selalu
saja ada usaha-usaha untuk masuk tanpa melalui ‘pintu’yang telah ditetapkan.
Melainkan melalui ‘jendela.’
Usaha-usaha itu (masuk
melalui jendela: tidak resmi) bisa datang dari siapa saja. Biasanya berpangkat,
punya pengaruh, dan bisa menekan pimpinan sekolah. Wujudnya abstrak. Susah
diendus. Bagaikan (maaf) kentut. Tidak nampak, namun menyengat aromanya.
Dengan menerapkan
metode tradisional, pihak yang ingin masuk tanpa melalui pintu itu biasanya
mendapat ganjalan. Karena sistem penerimaan yang dilakukan secara transparan,
dan diketahui masyarakat awam. Apalagi jika nilai calon siswa yang dibawanya
cukup rendah. Kemungkinan besar akan sulit bersaing dengan siswa lain, yang
nilainya lebih tinggi.
Namun beda jika sistem
seleksinya digelar dengan metode semi tradisional. Karena intern panitia yang
menentukan hasilnya, disinyalir, ada tekanan-tekanan tertentu yang
‘mengarahkan’ untuk meluluskan calon yang dibawanya.
Lantas, bagaimana jika
sistem ini dikemas se-kredibel mungkin, namun tetap mampu ‘menampung aspirasi’ segelintir
orang yang berkepentingan? Tahun ini aturan sistem seleksi itu kembali berubah.
Tahap pertama, PPDB dilakukan berdasarkan perangkingan nilai.
Mereka yang dinyatakan
gagal, masih berkesempatan untuk masuk ke sekolah negeri, jika berhasil lulus
pada tahap kedua: Testing. Bagi peserta, ini merupakan peluang emas. Mendapat
dua kali kesempatan.
Sementara bagi panitia,
beban akan semakin bertambah. Saya percaya mereka ikhlas, jika memang ini
prosedur untuk menjaring bibit-bibit unggul. Tapi saya berfikir tidak, jika
hanya kamuflase untuk menggolkan ambisi golongan-golongan tertentu.
Post a Comment