Seribu Solusi di Ruang BP/BK (2-Habis)
Muhammad Nur ST sedang menunggu di ujung telepon. Beliau
guru praktikum, yang bertugas di bengkel.
“Benar bapak walikelas XII TSM 1?”, demikian inti
pembicaraan pak Nur setelah beberapa waktu berbasa-basi. Terang saja saya
menjawab: “Benar pak, ada yang bisa saya bantu.”
“Tadi malam saya ketemu dengan anggota keluarganya Dwi
Heriansyah, membahas tentang kelanjutan nasib
sekolahnya........................”
Selanjutnya, pembicaraan berlangsung serius. Saya menangkap,
ada power ekstra yang ingin diberikan
pak Nur, kepada saya dan pak Mulkan, untuk menyelamatkan masa depan Dwi
Heriansyah, siswa yang dimaksud.
“Tapi ini pun tergantung dengan kemauan anaknya (si Dwi)
pak. Kalau masih mau, kita bawa dia ke sekolah. Kalau pun tidak, kita sodorkan
surat pengunduran diri,” jelas pak Nur. Saya terdiam. Bingung. Senang bercampur
dengan perasaan lain.
Dalam bayangan saya begini: Alhamdulillah. Jika benar
akhirnya si Dwi mau kembali ke sekolah. Tapi akan menjadi musibah, jika tidak
diberikan pengertian kepada siswa itu, tentang tindakan pendisiplinan dari
guru-guru kelas, yang akan diterimanya kelak.
Tiga bulan lebih tidak masuk kelas, pasti ada tindakan
pendisiplinan. Pelajarannya sudah pasti tertinggal. Demikian juga dengan
catatan materi. Pun hal nya dengan tugas-tugas. Belum lagi dengan bimbingan
masing-masing guru kelas yang berbeda-beda. Setiap guru itu pasti akan
menanyakan:
“Kemana saja selama ini?”. Pertanyaan-pertanyaan itu yang akan terus
menggelayut. Apakah Dwi siap?
“Saya siap pak!”. Kata Dwi Heriansyah kepada saya dan pak
Mulkan, ketika untuk pertama kali datang ke sekolah, setelah serangkaian usaha
yang dilakukan pak Nur.
Dwi datang bersama ayahnya. Dia menggunakan seragam putih
abu-abu. Lengkap dengan atribut. Gayanya rapi. Rambutnya klimis. Tidak nampak
seperti anak jalanan yang putus sekolah.
Kami tak langsung yakin dengan jawaban Dwi. Mungkin saja ia
hanya berbasa-basi. Atau karena belum menjalani. Sehingga belum merasa kapok. Belum
jera.
Tapi kesungguhan yang ditunjukkan Dwi, serta keyakinan sang
ayah, membuat kami, mau nggak mau, harus yakin. Karena ini lah muaranya. Dwi harus
kembali ke sekolah.
Untuk mencegah kesalahannya yang lalu itu berulang, Dwi
harus menandatangani surat perjanjian terakhir. Hari itu juga. Terhadap guru BP
dan guru praktikum di bengkel. Selain itu, Dwi juga diharuskan menyelesaikan tunggakan
administrasinya. Seperti buku-buku perpustakaan yang belum dkembalikan.
Setelah rangkaian ‘usaha penyelamatan’ itu, kami terus
memonitor perkembangan Dwi. Kini, Dwi berusaha merajut kembali masa depannya. Mendapatkan
haknya sebagai anak-anak Indonesia: mendapatkan pendidikan.
Saya lantas merenung, jika kejadian ini terjadi pada sekolah
berstatus negeri, maka ujungnya hampir pasti pengembalian kepada orangtua
(bahasa halus pemecatan). Di sekolah swasta juga bisa seperti itu. Namun
prinsip ‘Kesempatan Kedua’ bisa menghindari banyak anak-anak dari ancaman putus
sekolah.
Untuk membangun masa depan, memang dibutuhkan seribu solusi.
Untuk membangun masa depan, memang dibutuhkan seribu solusi.
Post a Comment