Mardi Utami, 29 Tahun Kemudian
Saya juga pernah seceria Upin dan Ipin. Menghabiskan masa kanak-kanak
dengan belajar, bermain, berbagi ceria, bercanda, tertawa, dan lucu-lucuan
bareng teman. Semua itu saya alami ketika masih duduk di sekolah Taman Kanak-kanak
(TK), Mardi Utami.
Ketika itu tahun 1987, 29 tahun yang lalu. Di tempat saya
berdiri (seperti pada foto), kami berkumpul, setiap pagi.
Sebelum masuk ke ruang kelas, kami dibariskan. Bernyanyi
bersama-sama. Didampingi guru-guru yang kharismatik, mulut kami mengikuti
alunan musik, yang terdengar begitu keras dari corong-corong TOA.
Sambil bertepuk tangan, melirik kesana-kemari, saya juga
ikut bernanyi. Berteriak dan bersuara, mengikuti kosa kata yang terdengar. Meskipun
liriknya sering salah, tak masalah. Bergembira, itu yang utama.
Minggu kemarin, saya kembali mendatangi TK bersejarah itu.
Bernostalgia. Sambil melihat sisa-sisa kejayaan TK Mardi Utami.
Sebelum maraknya PAUD dan RA (Raudatul Athfal) pada saat
sekarang ini, dulu TK memang berada pada masa emasnya. Di lokasi tempat saya
tinggal, ada 2 TK elit, dan menjadi incaran ibu-ibu memercayakan anak-anaknya
untuk dididik.
Yang pertama TK Negeri Pembina. TK ini tidak dipilih oleh
mamak (panggilan sayang kepada ibu saya). Mungkin karena jaraknya lebih jauh. Sedangkan
yang kedua, ya ini, TK Mardi Utami.
TK Mardi Utami berada pada kompleks pergudangan dan
perkantoran PT Perkebunan Nusantara II Helvetia (sebelumnya PTP IX).
Dulu, TK Mardi Utami berjaya. Muridnya banyak. Bangunannya bagus.
Halamannya ditata. Dan jenis permainannya juga lengkap.
Selain itu, TK Mardi Utama juga begitu eksis. Setiap tahun,
murid-muridnya dilatih bernyanyi dan menari. Untuk kemudian diliput dan
ditayangkan dalam sebuah acara khusus di TVRI stasiun Medan. Membanggakan.
Namun kini, pesona TK Mardi Utami memudar. Seiring dengan
aktivitas pergudangan dan perkantoran yang vakum. Mungkin ada pengaruhnya
dengan hak izin penggunaan lahan, dan hasil kebun yang tak lagi diolah di
lokasi itu.
Seingat saya, di lokasi pergudangan ini, ada banyak
truk-truk dengan roda yang besar-besar. Kami menyebutnya ‘montor Jonder’. Sepulang
sekolah, kami (saya dan teman-teman) pasti menyambangi montor Jonder ini. Melihat-lihat
dari dekat. Sambil mendengarkan deru suara mesinnya: “Brum..brum..brum....brumm.”
Kini, praktis hanya
ada bangsal-bangsal tua rumah dinas mandor-mandor kebun yang masih setia
mendampingin bangunan tua TK Mardi Utami. Satu-satunya bangunan yang terus aktif
hanya pos penjaga. Di pos jaga itu pula saya bertanya tentang eksistensi TK
ini.
“Masih beroperasi dek. Muridnya juga cukup banyak. Namanya
TK, jam 11 udah pada bubar,” kata pak security, yang saya lupa menanyakan
namanya itu.
Mendengar kabar itu, saya merasa tenang. Sebab, meskipun
sudah tamat dari TK Mardi Utami, ada satu hal yang membuat perasaan ini belum
plong.
“Raport dan sertifikat TK mu dulu nggak mamak ambil. Enggak punya
uang.”
Kalimat mamak itulah yang saya ingat. Dan mudah-mudahan saja
berkas itu masih ada.
Karenanya, saya akan mendatangi TK Mardi Utami kembali. Dalam
waktu dekat ini.
Post a Comment