Yang Bisa Dapat Gelar Terbaik Itu Pemain, Bukan Penonton
“Setelah ini ke mana?”
Pertanyaan itu yang beberapa minggu lalu sering saya
tanyakan. Kepada siswa semester akhir. Kelas XII. Ketika sebelum melaksanakan
Ujian Akhir Nasional (UN).
Pertanyaan itu pula yang saya lempar kepada siswa kelas X. Atau
adik kelas siswa yang akan melaksanakan UN tadi. Sesaat begitu pembelajaran
setelah UN dimulai kembali.
Saya ingin ‘membuka pikiran’ mereka. Atau bahasa multilevel
marketing-nya, Open Mind.
Melalui pertanyaan itu, paling tidak, sudah terbersit
gambaran bagi siswa kelas X tadi, akan seperti apa mereka ke depan. Mau jadi
apa. Ingin bekerja kah? Atau kuliah? Atau membangun usaha? Atau, dan lain-lain.
Yang pasti satu hal. Ini saya tegaskan kepada mereka: Alumnus
SMK harus aktif. Juga kreatif. Dengan bekerja. Bekerja apa saja. Yang penting
halal.
Dengan bekerja, mereka akan punya penghasilan. Dengan punya
penghasilan, mereka mempunyai kemampuan untuk memperbaiki keadaan. Selanjutnya,
kondisi ekonomi akan membaik. Ekonomi yang baik, membuat kelurga akan hidup lebih
sejahtera. Dan ujung-ujungnya, kualitas hidup akan lebih meningkat.
Alumnus SMK, secara teori, tidak ada alasan untuk diam di rumah. Apalagi
sampai menganggur.
Pertimbangannya ini: pembelajaran yang berbasis kompetensi. Menuntut
mereka untuk terus mengasah skill dan kemampuan. Bahkan merasakan langsung
atmosfer dunia kerja, melalui program Praktik Kerja Industri (Prakerin).
Hanya saja, kondisi sekarang begitu kompetitif. Persaingan begitu
sengit. Satu posisi lapangan kerja dari si pemberi kerja, diincar oleh
setidaknya ratusan orang pencari kerja. Pertimbangan itu yang saya sampaikan
kepada mereka.
Mari berhitung. Tahun ini saja, ada 3,3 juta alumnus SMK
sederajat yang menjadi calon pencari kerja. Mereka tidak bersaing sendiri. Ada alumnus
SMK tahun lalu yang sudah lebih dahulu terjun ke pasar kerja. Belum lagi
ditambah dengan alumnus SMK dua dan tiga tahun yang lalu. Atau bahkan, gempuran
dari ribuan pekerja-pekerja asing.
Sebandingkah dengan jumlah lowongan kerja yang tersedia? Rasa-rasanya
tidak.
Untuk itulah saya tanamkan ini kepada mereka: “Berwirausahalah!
Mulai sekarang!”
Bisa dimulai dari membantu usaha yang dilakukan kedua orangtua
mereka (jika orangtuanya pengusaha/berwirausaha). Teruskan, dan bila perlu
dikembangkan.
Kepada mereka, saya berujar begini:
“Berwirausahalah dalam bidang apa saja. Selama itu halal. Tanpa
perlu canggung. Apalagi malu.”
“Kalau ada yang mencemooh karena usaha yang dijalankan itu
murahan, atau hina menurut mereka: Abaikan.”
“Anggap saja itu sorakan dari penonton yang hadir di
stadion. Kalian yang menjalankan usaha?
Cukup bermain dengan baik. Tunjukkan prestasi.”
“Biarkan penonton terus bersorak dengan riuhnya. Karena
gelar terbaik, selalu akan jatuh kepada pemain dengan penampilan yang paling
baik. Bukan kepada penonton.”
Post a Comment