Sembilan Puluh Hari Berguru Menjadi Guru

Saya juga pernah seperti mereka. Dahulu. Sekira 13 tahun yang lalu. Ketika melaksanakan Program Pengalaman Lapangan-Integrasi (PPL-I).


Kegiatan yang dilakukan pun persis sama. Melakukan orientasi ketika awal-awal masuk, melaksanakan arahan dan bimbingan dari guru pamong, serta yang terpenting ini: mengajar, masuk ke kelas, dan bertugas layaknya seorang guru.

Tiba-tiba saya teringat itu. Karena  menyaksikan dua gelombang mahasiswa PPL datang ke tempat saya bertugas. Dari STKIP Budi Daya Binjai, dan dari Universitas Negeri Medan (Unimed), almamater saya.

Kedatangan mereka, tentu menggembirakan. Sangat membantu. Karena jika ditotal, jumlahnya ada 31 orang. Banyak. Satu-satunya yang tidak membuat gembira adalah: tak seorangpun dari mereka, yang sealiran dengan (jurusan) saya.

Menjadi mahasiswa magang itu memang penuh suka.

Padahal sebelumnya, saya berharap-harap cemas. Mendengar cerita-cerita miring dari kakak-kakak senior. Tentang kabar yang tidak enak. Apalagi ketika memikirkan ini: “Akan ‘dibuang’ ke mana kira-kira kami nanti.”

Masalah lokasi penempatan memang menjadi topik yang paling sering kami bahas. Setiap harinya, sebelum keluar jadwal keberangkatan.

Rerata mereka, termasuk saya, ingin ditempatkan pada lokasi yang tak begitu jauh dari Medan. Maunya yang dekat-dekat saja. Jangan sampai ditempatkan di pelosok.

Semisal di Lubuk Pakam. Atau Stabat. Atau di Binjai. Seandainya ditempatkan di Tebing Tinggi, yang jaraknya sekira 2 jam perjalanan dari Medan, masih masuk kategori ‘OK’. Karena cukup terjangkau.

Saya menjadi begitu cemas ketika hari pengumuman. Dan cemasnya, makin menjadi-jadi ketika tahu, kota penempatan tempat saya magang berada sekitar 280 kilometer jauhnya: Balige.

Kota ini terletak di tepian Danau Toba. Berada pada Kabupaten Toba Samosir. Ditempuh sekitar 6 jam perjalanan darat, dari Medan.

Di Balige, segala cerita miring tentang status sebagai mahasiswa ‘terbuang’, langsung hilang. Semuanya lenyap oleh goresan lukisan alam nan indah ciptaan sang Khalik.

Balige memang cantik.

Semua tempat di tepian Danau Toba, layak jadi destinasi wisata yang menarik. Ciamik. Melihat Danau Toba dari Balige, seperti sedang menyaksikan gelaran Formula 1 di sirkuit jalanan Monte Carlo, Monaco.

Sekitar 3 bulan kami di sana. Saya ditempatkan di SMK PGRI-7 Balige. Beberapa rekan akrab saya, ditempatkan di sekolah, yang kira-kira 100 meter jaraknya: SMK Yayasan Soposurung.

Magang mengajar di Balige, ada enak dan uniknya. Di sana, saya dihadapkan pada kultur budaya yang begitu kental. Bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah: Batak Toba. Baik untuk berkomunikasi biasa, pada saat rapat, maupun di kelas.

Saya begitu ingat ketika Kepala Sekolah harus merubah bahasanya setelah melihat daftar hadir kami. Karena dilihatnya nama saya yang Jawa, serta nama teman saya yang tidak bermarga (Syafaruddin), langsung digunakannya bahasa Indonesia. Padahal, sebelumnya rapat berlangsung dengan bahasa Batak Toba.

Masalah bahasa tidak saya jadikan sebagai kendala. Untuk cepat beradaptasi, saya meminta satu orang siswa menuliskan percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Batak Toba. Hasilnya pun lumayan banyak. Ada sekitar 6 lembar kertas. Kertas itulah yang setiap pulang magang saya baca, untuk dihafal.

Menjadi mahasiswa magang di Balige, membuat saya merasa apa yang mahasiswa PPL itu rasakan. Karena untuk menjadi guru, calon guru itu juga harus berguru.



No comments