Alun-alun Stabat Rasa Monaco
Baru kali saya merasakan atmosfer balap. Ketegangannya.
Deg-deg-annya. Dan juga debar-debarnya. Semuanya persis sama seperti yang dirasakan
kru, ketika sedang mendampingi pembalapnya beradu cepat di lintasan.
Minggu (11/9) pagi itu memang ada misi khusus. Saya diminta mendampingi
sepuluh orang siswa kelas XII Teknik Sepeda Motor (TSM) untuk ikut lomba
Gymkhana.
Lomba gymkhana ini diselenggarakan, untuk menyemarakkan
acara Honda Dream Cup Tahun 2016, yang perlombaan intinya yaitu balapan di
sirkuit jalanan (road race).
Tempatnya di alun-alun kota Stabat. Dan Gymkhana ini menjadi
salah satu materi yang dipertandingkan.
Gymkhana itu adalah, perlombaan ketangkasan dalam berkendara
sepeda motor. Rider dituntut untuk melewati trek yang telah ditentukan, yang
pada lintasannya diberi hambatan berupa kerucut (traffic cone). Di mana rider
harus melaluinya dengan sempurna, berdasarkan waktu tercepat.
Untuk melalui traffic cone itu pun ada tata tertibnya. Cone yang
bagian atasnya berwarna hijau, dilalui dengan menikung dari sebelah kanannya. Atau,
masuk dari sebelah kiri lutut rider. Sedangkan cone berwarna merah, sebaliknya.
Tantangan itulah yang dihadapi oleh 10 orang anggota tim
saya. Yang rata-rata belum berpengalaman. Sama sekali.
Maka ketika dibebankan tugas untuk melakukan seleksi, saya
pilih siswa yang bertipe ini: selengekan, ugal-ugalan, dan hobi touring.
Panitia memanggil peserta berdasarkan nomor urut pendaftaran.
Setelah sebelumnya dilakukan briefing, dan sosialisasi tata cara berkendara. Dengan
menyusuri trek berjalan kaki. Persis seperti yang dilakukan Rio Haryanto
sebelum balapan F1 digelar. Ketika masih menjadi pembalap utama tim Manor
Racing.
Ada 3 unit sepeda motor yang disiapkan. Semuanya tipe Honda
Sonic 150.
Sebelum menggeber si Sonic yang ramping itu, rider
diwajibkan mengenakan pakaian berkendara. Di antaranya, jaket, helm, sarung
tangan, pelindung lutut, dan sepatu boots. Semuanya disiapkan panitia
penyelenggara.
Kejutan datang pada awal-awal lomba. Tanpa disangka, rider urutan
pertama mampu tampil baik. Catatan waktunya baik. Cara berkendaranya juga baik.
Padahal, rata-rata peserta masih mengeluhkan waktu yang dirasa terlalu singkat
untuk mempelajari tata cara lomba.
Alhasil, si rider nomor satu, yang namanya sama dengan
Presiden RI ke-2 itu, tampil kokoh dipuncak klasemen. Dengan catatan waktu 41
detik.
Catatan waktu itu masih belum tergeser, hingga siswa-siswa
saya nampil.
Alfahri Zuhri dan Yohga memberi harapan. Pada awal-awal, mereka
cepat. Mulus ketika menikung. Dan nyaris tanpa celah.
Sayang, Alfahri membuat kesalahan. Sehingga 38 detik waktu
yang telah dibukukannya, harus ditambah penalty 5 detik. Sehingga menjadi 43 detik. Sedangkan Yohga,
membukukan waktu yang sama: 43 detik.
Pencapaian waktu itu, membuat mereka untuk sementara
nangkring di posisi kedua dan ketiga. Namun masih menyisakan puluhan rider
lain.
Masa menunggu itulah yang menjadi pembeda. Saya sampai
keringat dingin. Di bayangan saya, podium sudah di tangan. Meskipun masih di
angan-angan, dan belum jadi kenyataan.
Pada setiap rider setelahnya yang tampil, saya selalu
memperhatikan catatan waktu yang
dibukukan. Kebetulan panitia menyediakan satu layar lebar di samping tribun
utama. Untuk menampilkan catatan waktu secara real time.
Situasinya persis seperti sesi menyaksikan kualifikasi balap
Formula 1 di sirkuit jalanan Monaco. Tegang. Berdebar-debar. Dan berharap-harap
cemas.
Sayangnya, ada dua rider lain yang akhirnya mencatatkan
waktu yang lebih baik: 42 detik menjelang akhir lomba. Sehingga, podium yang
sudah di angan-angan, harus lepas.
Namun demikian, menduduki peringkat 4 dan 5 dari 50 rider,
itu sudah membuat kita bangga.
Well done boys. What a great job…
Post a Comment