Gara-gara Celotehan Deka (1)
Catatan: Kisah ini nyata. Disajikan dengan bumbu dan intrik, agar lebih menarik.
Hari Rabu. Pertengahan tahun 1995.
Bel listrik satu nada meraung-raung. Memecah keriuhan. Istirahat baru saja usai. Saya masih SMP ketika itu. Kelas 2.
Tanpa dikomando, kerumunan teman masuk ke ruangan. Termasuk yang sekelas dengan saya.
Berjalan dari kantin bang Joran, ada yang menenteng plastik es. Jajanan. Yang kebanyakan berjenis bakwan. Dengan cabe cair pedas, dan saus merah di atasnya.
Di antara mereka, banyak juga yang tak bawa jajan, cuma jalan. Jual tampang.
Karena sebelumnya jam pelajaran olah raga, teman-teman sedikit terlambat masuk. Masih gerah. Masih ingin melepas lelah. Masih kurang istirahatnya.
Bu Lili pun masuk. Beliau guru Bahasa Inggris.
Sedikit belum tertib, Bu Lily memulai pelajaran. Dipanggilnya siswa satu per satu. Mengabsen.
Saya semeja dengan Agus Salim. Marganya Sitanggang. Banyak teman memanggilnya: Tanggok. Sayapun akhirnya ikut-ikutan memanggil demikian.
Agus itu bintang kelas kami. Panutan. Kiblat. Mulai dari fashion, hingga style. Mulai dari gaya jalan, hingga cara berdandan.
Kami duduk paling belakang. Barisan kedua, dari pintu masuk.
Kelas belum juga kondusif. Bu Lili sudah sedari tadi mengabsen. Suaranya terdengar sayup. Kalah keras dari suara teman cewek yang begitu nyaringnya.
Hajatu termasuk yang paling nyaring. Duduk menyamping, mulutnya terus saja berkomat kamit. Ngerumpi dengan Nisa. Sambil berkipas.
Rambutnya sesekali tergerai kena angin itu. Mukanya merah. Sedikit berkeringat. Seperti menahan pedas. Sambil bergosip, mulut Hajatu yang ketika itu duduk semeja dengan almarhumah Rini, terus mengunyah. Tangan kanannya sesekali meraih sesuatu dari dalam laci. Sepertinya bakwan pedas.
Karena tak kunjung diam, Bu Lily berdiri. Dia memulai pelajaran. Sepertinya hari ini kami dilatih Reading. Membaca.
Kami disuruh untuk mengikuti ucapannya.
"Write.....," sahut kami bersama-sama. Serempak. Sesaat setelah ibu Guru itu mengucap kalimat yang sama.
Setelah itu, harusnya hening. Untuk menunggu kembali, kalimat apa yang akan beliau ucapkan.
Namun, kenyataannya tidak. Masih ada yang berceloteh.
"Write... Write... Write....," terdengar begitu. Nyaring. Seperti mengejek. Namun, entah oleh siapa.
Akibatnya, Bu Lili yang sedari tadi kalem, berubah menjadi beringas.
Ditatapnya kami semua. Sebaris. Lokasi yang diduga kuat menjadi sumber suara.
Sialnya, saya ada di barisan itu.
Agus diam. Dengkul kanannya berulang kali menendang-nendang dengkul saya. Entah apa maksudnya.
Demikian juga dengan Yunan dan Budi. Keduanya duduk, persis di depan bangku saya.
Zulfi menunduk. Rambut belah tengahnya jatuh ke atas meja. Sedangkan Sofyan memandangi asbes ruangan. Tatapannya kosong. Seperti orang kesurupan.
Sementara Boy Amali cuma bisa mencorat-coret kertas. Hobinya memang melukis. Selain menyanyi, bermain gitar, playstation, bermain bola, bersepeda, berkuda, dan berenang.
"Kalau tidak ada yang mengaku, kalian berdiri semua. Hormat bendera. Sampai jam pulang," kata beliau, kepada kami. Sebaris.
Bilang Bu Lily. Menunjukkan ketegasannya.
Belum ada yang mau mengaku.
(bersambung)
Post a Comment