Syahidnya Syuhada Pendidikan, Achmad Budi Cahyanto
Jutaan guru di seluruh Indonesia tengah dirundung duka. Penyebabnya ini: Seorang guru meninggal setelah sebelumnya dianiaya secara brutal oleh salah satu siswanya.
Kejadian itu tentu saja viral. Media sosial ramai. Beberapa grup guru di facebook, yang kalau ditotal anggotanya mencapai jutaan akun, meledak.
Penuh sesak oleh komentar haru, ucapan duka, serta doa kepada almarhum Achmad Budi Cahyanto.
Saya mencoba bertahan untuk tidak berkomentar. Tapi karena ini menyangkut rekan satu profesi, hati ini tergerak. Terpanggil. Untuk memberikan dukungan moril kepada keluarga almarhum, dan rekan seperjuangan lainnya. Di seluruh Indonesia.
Kenapa harus menganiaya? Kenapa begitu brutal? Kenapa bisa terjadi peristiwa itu? Berbagai versi simpang siur muncul di media sosial. Begitu hiruk pikuknya.
Tapi dari semua itu, satu hal ini yang membuat saya heran: “Apa yang ada di pikiran Holili, siswa pelaku penganiaya itu, hingga tega menganiaya gurunya sendiri.
Terlalu ngeri rasanya kalau saya harus menulis kembali runut peristiwa itu. Begitu keji. Pedih. Dan pasti, hanya akan menimbulkan luka bagi keluarga dan rekan guru lain.
Saya hanya membayangkan, bagaimana rasa sakit yang dirasakan almarhum ketika dianiaya oleh pelaku.
Kita sama-sama tahu. Leher Guru Budi patah. Pembuluh darahnya pecah. Dan dokter memvonis bahwa almarhum mengalami Mati Batang Otak. Ya Allah….
Siswa macam apa yang tega menghajar gurunya seperti itu?
Belakangan saya tahu. Holili ini siswa yang memiliki ilmu bela diri. Tapi kelakuannya buruk. Bermasalah. Dan selalu masuk daftar hitam karena tingkah lakunya.
Tapi, apakah pantas ilmu bela dirinya itu dipraktikkan kepada gurunya? Balasan seperti itukah yang layak anda berikan, Holili?
Oke, oke. Anda masih anak di bawah umur, yang dilindungi oleh undang-undang. Saya tidak akan menyalahkan anda. Saya hanya akan menginstropeksi, profesi yang kami tekuni: Guru.
Jangan anda tanyakan nikmatnya. Yang jelas, kami sangat legowo menjalani tugas ini. Dengan tulus, ikhlas, dan tanpa tedeng aling-aling.
Karena ikhlas itu lah kami siap dipagari. Oleh peraturan HAM tentang perlakuan terhadap anak. Sehingga ketika menjumpai anak yang sikapnya merajalela, kami hanya bisa mengelus dada.
Karena tulus itu juga, kami ikhlas. Menjalani tugas dan tanggung jawab yang berat. Meskipun dengan tambahan tugas administrasi yang begitu banyak.
Kami kuat. Tetap kuat. Pantang untuk mengeluh. Meskipun dengan penghasilan yang seadanya.
Melalui tulisan ini, saya juga ingin mengklarifikasi. Belum semua guru itu hidup sejahtera.
Oke, pemerintah mengucurkan tunjangan sertifikasi. Yang besarnya senilai satu bulan gaji pokok. Tapi itu berlaku bagi sebagian. Belum semua.
Kami paham pemerintah memiliki keterbatasan anggaran. Kami paham. Kami juga maklum. Selebihnya? Hanya menikmati gaji yang ada. Beruntung jika statusnya guru PNS, kalau tidak?
Itulah yang dirasakan Guru Budi ini. Beliau merupakan guru honor yang masih muda. Gajinya? Hanya Rp 600 ribu per bulan. Itu yang saya baca dari media online.
Dengan spesialisasi, kemampuan, serta tanggung jawab yang besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apakah itu pantas?
Oke…oke. Sekali lagi, kami berjanji tidak akan mengeluh.
Belajar dari kejadian Guru Budi, saya kini punya persepsi. Bahwa profesi Guru, kini sudah sejajar dengan TNI atau Polri. Bukan tentang gajinya. Atau bahkan kesejahteraannya. Bukan.
Melainkan karena ini: Resikonya. Karena selain menjalankan amanah, Guru juga harus siap bertarung nyawa.
Holili. Semoga anda bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini ya. Saya doakan anda sukses. Dan bisa menjadi kebanggaan bagi keluarga, bangsa, dan Negara.
Oh, iya. Teruslah pertajam ilmu bela dirimu itu. Dan gunakan itu untuk membela dirimu, nanti. Ketika berhadapan dengan malaikat.
Guru Budi. Anda hebat. Sosok Syuhada yang syahid demi perjuangan pendidikan di Indonesia.
Kami akan lanjutkan perjuanganmu.
Allahummakhtim lanaa bihusnl khotimah walaa takhtim alainaa bisuuil khotimah.
Post a Comment