Bayangan Putih di Gang Sempit Samping Bangsal
Hujan deras yang turun membuat malam itu jadi mencekam. Apalagi anginnya kencang. Suasana jalanan lengang. Hanya ada beberapa mobil yang melintas. Sementara pengendara motor memilih menepi. Membuat kota dan isinya kian sunyi.
Saya dalam perjalanan pulang. Menerobos lebatnya hujan yang entah kapan akan berhenti.
Jarak ke rumah kurang dari tujuh kilometer lagi. Saya memilih rute alternatif untuk memangkas waktu tempuh. Melewati gang sempit nan strategis. Yang letaknya berada persis di samping kompleks bekas gudang tembakau Deli. Milik PT Perkebunan Nusantara IX dulu.
Tembakau inilah yang sempat mendunia. Sejak dikuasai Belanda, hingga dinasionalisasi pada tahun 1950-an.
Dalam kompleks itu, tembakau Deli disortir, diperam, untuk kemudian difermentasi sebelum dijual dan dijadikan pembungkus cerutu kelas Eropa.
Semua itu dilakukan di dalam kawasan pergudangan dan bangsal yang megah dan luas. Yang kini sudah menjadi bangunan tua. Tak berpenghuni. Terkesan mati suri. Dan, angker.
Roda depan motor saya mulai masuk ke dalam gang sempit itu. Yang pada sisi kirinya berdiri megah sebuah masjid: Khasyiin.
Cerita mistis tentang keangkeran kompleks, perlahan surut saat saya melihat barisan lampu taman masjid. Namun, mendadak teringat lagi.
Air hujan makin keras menghantam tubuh. Dari balik helm, saya mengamati kondisi jalan yang berlubang, licin, dan sepi.
Masjid sudah lewat. Jalanan temaram lagi. Lampu motor yang redup berusaha keras menerangi jalan.
Tiba-tiba. Mata saya tertuju pada satu titik. Pada bagian terjauh jangkauan mata.
Sesosok bayangan putih muncul. Seperti menari di antara rimbunan pohon bambu.
Jantung saya berdegup kencang. Bulu kuduk pun berdiri. Keringat dingin mengucur dari balik jaket dan mantel. Padahal, cuaca dingin. Angin juga kencang.
Tak ada pengendara lain yang melintas. Pintu rumah penduduk sekitar juga tutup. Tak ada satupun penghuninya yang keluar.
Sambil terus melafadzkan ayat-ayat suci, kecepatan motor saya kurangi. Seperti sedang memutuskan. Terus, atau berbalik. Berbalik, atau terus.
Terbayang saya satu pohon besar di tengah bangsal. Yang diameternya hampir lima meter. Yang katanya pernah dijadikan lokasi uji nyali satu stasiun TV.
Saya juga membayangkan bangsal-bangsal itu. Yang besar. Berkali-kali lipat dibanding bengkel terbesar milik Astra sekalipun.
Saya terbayang 'penghuninya'. Terbayang rupanya. Apakah seperti kuntilanak. Genduruwo. Atau gerandong. Yang bisa jadi, sedang menari di rimbunan pohon bambu itu.
Laju motor saya pertahankan rendah. Tak ada pilihan lain. Kecuali terus melaju. Saya harus berani. Namun mata tak sanggup menatap.
Jarak dengan sosok putih itu kian dekat. Hanya tinggal beberapa meter lagi. Bukannya reda, hujan malah semakin deras. Membuat sosok putih itu kian beringas dan eksis.
Tinggal hitungan senti. Mata saya pejamkan. Mulut terus berkomat-kamit
Frekuensi pembacaan lafadz dan asmaul husna saya tingkatkan. Dalam hati saya: Apa yang terjadi, terjadilah. Saya pasrah.
Dan....... Crasssssss.......
Ternyata itu cuma plastik putih tipis. Yang biasa digunakan untuk pelapis material oleh tukang kayu.
Post a Comment