Nikmat Sehat
Tiga belas hari
di rumah sakit membuat saya bersyukur. Bisa terus sehat. Menjaga orang
kesayangan yang tengah sakit.
Sakit itu memang
nggak kenal banyak sedikitnya harta, kedudukan dan pangkat, warna kulit, suku
bangsa, agama, tampang, apalagi muka jelek saat lagi tik-tokan.
Karena selama di
sini, bukan hanya yang tua, yang muda juga bisa sakit.
Apalagi RSUP H
Adam Malik ini dikenal sebagai rumah sakit rujukan. Muaranya rumah sakit yang
sudah tidak sanggup lagi menangani pasiennya. Yang biasanya punya penyakit
kelas berat.
Yang satu
ruangan dengan mamak sudah dua orang yang meninggal. Pertama ibu boru Barus
itu. Yang sakit ginjal itu. Yang meninggal ketika mencari dua kantong darah
itu. Umurnya 55 tahun.
Yang kedua baru
saja meninggal pagi tadi. Perempuan berumur 50 tahun. Sakit Hepatitis.
Sepanjang hari
kemaren, pasien itu memang tidur saja. Seperti mendengkur. Anak dan suaminya menjaga
bergantian.
Dua pasien baru
ada di ruangan mamak. Namun yang satu sudah diperbolehkan pulang. Cuma sakit
anemia. Mesti ditransfusi tiap 2-3 bulan.
Yang satunya
lagi masih mahasiswi. Sakit Leukemia. Asalnya dari Riau. Ketika berobat di
Pekan Baru, orangtuanya sudah menghabiskan biaya berobat Rp 20 juta. Kemudian di
rujuk ke Medan. Di RS Royal Prima.
Selama lima hari
dirawat di RS itu, biayanya tembus Rp 18 juta. Kemudian dirujuk ke RSUP H Adam
Malik. Barulah orangtuanya mengurus BPJS.
“Kasihan kali,
baru pulang KKN loh bang,” kata Fika.
Mahasiswi itu
bukanlah pasien termuda.
Ketika selesai
solat Subuh di Masjid Nurul Iman, seorang pria tengah baya menghampiri saya. Menceritakan
tentang cucunya yang sakit Leukemia, atau kanker darah. Umurnya baru 12 tahun. Kelas
VI SD. Seusia putri saya, Kirana Andini.
“Sudah capek
berobat ke sana ke mari. Biaya tiap kali berobat Rp600 ribu. Seminggu kemudian
harus datang lagi. Tapi anaknya belum juga sembuh. Kelihatan semakin pucat dan
lemas. Makanya beralih ke medis ajalah,” katanya di tengah-tengah pembicaraan.
Menurut sang
kakek, cucunya harus menerima transfusi. Seminggu bisa dua kali. Darahnya dari
pendonor. Kalau tidak dari keluarga, dari orang lain. Bayar.
Pasien lain yang
seusia cucunya dengan penyakit serupa juga begitu.
“Karena
ketiadaan pendonor, ada orangtua pasien yang membawa pulang anaknya. Entah cemmaana
nasibnya itu,” tutupnya sambil menggeleng. Wallahu A’lam Bishawab.
Sehat memang
nikmat yang sering kita kufuri. Makanya harus disyukuri.
Post a Comment