(Diselamatkan) Pak Sebayang



Saat melihat jadwal pendaftaran siswa baru di SMP Negeri 16 Medan, saya ketemu pak Sebayang. Beliau guru pelajaran olahraga saat kami kelas 3. Sekira tahun 1996.

Dengan pak Sebayang, saya berhutang jasa dan gengsi. Beliau menyelamatkan muka saya dari timpukan rasa malu.

Jadi begini ceritanya.

Saat persiapan upacara pada peringatan hari besar nasional, kelas kami dipercaya menjadi paduan suara. Nah, ketika sedang latihan menyanyi, beberapa dari kami dipanggil untuk mempersiapkan diri sebagai petugas pelaksana upacara.

“Suryaman biasanya membaca undang-undang buk,” nyaring celotehan itu kepada Wali Kelas saat mendatangi kami. Entah dari siapa. Saya yang kurang fokus hanya mengangguk mengiyakan.

Karena tidak lagi diadakan gladi bersih, saya menatap hari H dengan penuh percaya diri. Menyiapkan baju khusus yang biasa dikenakan petugas upacara. Yaitu pakaian pramuka, topi baret, dasi merah putih, dan asesoris lain.

Hingga tibalah hari pelaksanaan itu.

Saya datang agak pagi. Sengaja duduk dekat podium, menunggu penyerahan perangkat upacara: satu set map berisikan teks UUD 1945.

Warga sekolah pun berdatangan. Mereka mengenakan seragam putih biru. Di antara yang kenal menegur sapa. Bertanya mengapa saya mengenakan seragam Pramuka. Saya menjawabnya dengan mengetatkan kacu merah putih. Agak cengengesan. Tanpa harus memberi tahu kalau: hari ini awak jadi petugas looh…

Menunggu agak lama, perasaan saya kok kurang enak. Karena seluruh petugas upacara ternyata bapak dan ibu guru. Tak ada satupun yang berstatus siswa.

“Haduuuhhh….malu kali awak kalok gak jadi petugas nih. Mana kostumnya lain sendiri lagi,” gumam saya waktu itu. Semua mata peserta mulai menatap saya.

Mengetahui bakalan ketiban malu, saya memutuskan mengambil langkah seribu.

“Kok pake baju Pramuka kau?” cegat pak Sebayang saat itu. Tangannya berkacak di pinggang. Wajahnya masih segar. Perutnya juga masih buncit.

“Kemaren ada yang bilang saya jadi petugas upacara pak. Makanya saya pake seragam Pramuka,” jawab saya sekenanya.

Pak Sebayang juga tak banyak cerita saat saya akhirnya memilih sembunyi. Di ruang kelas kami. Yang lokasinya paling ujung. Sebelah ruang kepala sekolah.

Pada bangku yang paling ujung, saya merenung. Kok bisaaaaa lah sampai seperti ini. Siapa yang salah memberikan informasi ya? Sehingga saya kena dampaknya. Dan harus menanggung malu seperti ini.

Apalagi waktu ketemu teman-teman tadi saya udah belagak jadi orang penting. Petugas upacara itu masuk level penting saat jadi siswa dulu.

Nah, kalau akhirnya nanti mereka tahu saya nggak jadi petugas upacara, pasti malunya segunung. Maklum masa remaja. Rasa malu bisa mengalahkan rasa lapar, rasa sakit, atau rasa cemburu.

Saat sedang ngomel dengan keadaan itu, pak Sebayang muncul.

“Hey, sini…..,” panggilnya begitu wajahnya muncul di pintu.

“Kau bawakkan map Pancasila ya,” katanya saat merangkul bahu kanan.

Hati saya pun teriak. “Alhamdulillaaaah…..jadi pembawa map Pancasila pun jadilah. Yang penting selamat muka awak. Gak sia-sia udah setelan rambut kayak Anjasmara. Si bintang video klip lagu Siti Nurhaliza itu.

Makanya saat ketemu pak Sebayang siang itu, saya berulang kali mengusap-usap bahunya. Seperti yang ia lakukan dulu.

Namun ada yang beda dengan pak Sebayang. Badannya yang dulu subur kini sudah agak kurusan.

“Kena sakit gula bapak,” katanya.

“Tahun ini bapak pensiun. Mau pulang kampung aja bapak ke gunung (Sinabung). Mau nanam kopi. Kata yang ngerjai udah mulai merah-merah buahnya,” timpal pak Sebayang antusias.

Semoga tetap sehat ya pak. Dan selamat menikmati masa pensiun. (sap)




No comments