(Diselamatkan) Pak Sebayang
Dengan pak Sebayang, saya berhutang jasa
dan gengsi. Beliau menyelamatkan muka saya dari timpukan rasa malu.
Jadi begini ceritanya.
Saat persiapan upacara pada
peringatan hari besar nasional, kelas kami dipercaya menjadi paduan suara. Nah,
ketika sedang latihan menyanyi, beberapa dari kami dipanggil untuk
mempersiapkan diri sebagai petugas pelaksana upacara.
“Suryaman biasanya membaca
undang-undang buk,” nyaring celotehan itu kepada Wali Kelas saat mendatangi
kami. Entah dari siapa. Saya yang kurang fokus hanya mengangguk mengiyakan.
Karena tidak lagi diadakan gladi
bersih, saya menatap hari H dengan penuh percaya diri. Menyiapkan baju khusus yang
biasa dikenakan petugas upacara. Yaitu pakaian pramuka, topi baret, dasi merah
putih, dan asesoris lain.
Hingga tibalah hari pelaksanaan itu.
Saya datang agak pagi. Sengaja duduk
dekat podium, menunggu penyerahan perangkat upacara: satu set map berisikan
teks UUD 1945.
Warga sekolah pun berdatangan. Mereka
mengenakan seragam putih biru. Di antara yang kenal menegur sapa. Bertanya mengapa
saya mengenakan seragam Pramuka. Saya menjawabnya dengan mengetatkan kacu merah
putih. Agak cengengesan. Tanpa harus memberi tahu kalau: hari ini awak jadi
petugas looh…
Menunggu agak lama, perasaan saya
kok kurang enak. Karena seluruh petugas upacara ternyata bapak dan ibu guru. Tak
ada satupun yang berstatus siswa.
“Haduuuhhh….malu kali awak kalok gak
jadi petugas nih. Mana kostumnya lain sendiri lagi,” gumam saya waktu itu. Semua
mata peserta mulai menatap saya.
Mengetahui bakalan ketiban malu,
saya memutuskan mengambil langkah seribu.
“Kok pake baju Pramuka kau?” cegat
pak Sebayang saat itu. Tangannya berkacak di pinggang. Wajahnya masih segar. Perutnya
juga masih buncit.
“Kemaren ada yang bilang saya jadi
petugas upacara pak. Makanya saya pake seragam Pramuka,” jawab saya sekenanya.
Pak Sebayang juga tak banyak cerita
saat saya akhirnya memilih sembunyi. Di ruang kelas kami. Yang lokasinya paling
ujung. Sebelah ruang kepala sekolah.
Pada bangku yang paling ujung, saya
merenung. Kok bisaaaaa lah sampai seperti ini. Siapa yang salah memberikan
informasi ya? Sehingga saya kena dampaknya. Dan harus menanggung malu seperti
ini.
Apalagi waktu ketemu teman-teman
tadi saya udah belagak jadi orang penting. Petugas upacara itu masuk level
penting saat jadi siswa dulu.
Nah, kalau akhirnya nanti mereka
tahu saya nggak jadi petugas upacara, pasti malunya segunung. Maklum masa
remaja. Rasa malu bisa mengalahkan rasa lapar, rasa sakit, atau rasa cemburu.
Saat sedang ngomel dengan keadaan
itu, pak Sebayang muncul.
“Hey, sini…..,” panggilnya begitu
wajahnya muncul di pintu.
“Kau bawakkan map Pancasila ya,”
katanya saat merangkul bahu kanan.
Hati saya pun teriak. “Alhamdulillaaaah…..jadi
pembawa map Pancasila pun jadilah. Yang penting selamat muka awak. Gak sia-sia
udah setelan rambut kayak Anjasmara. Si bintang video klip lagu Siti Nurhaliza
itu.
Makanya saat ketemu pak Sebayang
siang itu, saya berulang kali mengusap-usap bahunya. Seperti yang ia lakukan
dulu.
Namun ada yang beda dengan pak
Sebayang. Badannya yang dulu subur kini sudah agak kurusan.
“Kena sakit gula bapak,” katanya.
“Tahun ini bapak pensiun. Mau pulang
kampung aja bapak ke gunung (Sinabung). Mau nanam kopi. Kata yang ngerjai udah
mulai merah-merah buahnya,” timpal pak Sebayang antusias.
Semoga tetap sehat ya pak. Dan selamat
menikmati masa pensiun. (sap)
Post a Comment