Ini Robinson. Anak Petani yang Lulus S2 dari Salah Satu Universitas Terbaik di Amerika
Anak petani itu bernama Robinson Sinurat. Kampungnya di Tanjung Beringin, Sumatera Utara. Ia berhasil mencetak sejarah setelah meraih gelar master di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat.
Perjalanan Obin, begitu biasa ia dipanggil, memang tak mudah.
Anak kelima dari tujuh bersaudra sering diberi nasihat oleh orang tuanya. Agar jika ingin terus bisa bersekolah, harus menjadi juara. Biar bisa masuk ke sekolah negeri. Karena biayanya murah.
Ucapan itulah yang melecutkan semangatnya. Dengan gigih ia belajar, dan lulus kuliah S1 di Universitas Sriwijaya Palembang di jurusan Fisika.
Karena terkendala biaya, Obin yang merantau ke Bandung nekat meminjam uang sebesar Rp2,4 juta kepada teman dekatnya. Uang itu ia gunakan untuk mendaftar ke kampus Unsri dan membayar uang trasnportasi dari Bandung ke Palembang.
Selama menjalani perkuliahan, Obin sempat bingung bagaimana cara membayar uang praktikum dan biaya hidup khususnya untuk makan. Obin bahkan sampai makan satu kali sehari di kantin kampus saat sore.
“Jadi dulu itu strateginya adalah aku beli nasi banyak, sepiring gede terus pakai sayur, pakai ikan atau daging apa gitu bayarnya kan cuman itu doang,” jelasnya.
“Aku ambil 1-3 biji, makan, sambil nangis,” ujarnya.
“Aku enggak pernah kasih tahu (orang tua), kalau aku itu nggak makan. Tapi kalau yang bahagia-bahagianya aku kasih tahu. Karena kalau menurut aku, kalaupun aku kasih tahu aku susah segala macam, toh memang kalo mereka enggak ada (biaya) ya mau gimana, kan?” sambungnya.
Untuk dapat melanjutkan pendidikan, Obin disarankan oleh dosen pembimbing dan dekan untuk mendaftar beasiswa PPA dan BBM. Obin juga mencoba bekerja dengan mengajar fisika di sekolah bimbingan belajar di pusat kota Palembang yang berjarak sekitar satu jam dari kampusnya.
Obin yang dahulu dikenal supel, memanfaatkannya untuk aktif berorganisasi. Ia kemudian tergabung di Youth Interfaith Community, American Association of Petroleum Geologist, menjadi ketua perkumpulan warga Batak, dan mendirikan organisasi kampus, Himpunan Mahasiswa Geofisika.
Setelah lulus, Obin pergi ke Jakarta karena ditawari kerja sebagai koordinator program di bidang kepemudaan di Global Peace Foundation. Ia juga pernah bekerja di Kementerian PU (Pekerjaan Umum) sebagai seorang konsultan. Ia juga kerap mengikuti konferensi-konferensi baik di tingkat nasional maupun internasional yang pernah membawanya hingga ke Malaysia.
Setelah melakoni pekerjaan tersebut, ia bercita-cita ingin melanjutkan pendidikan ke Amerika. Ia kemudian mendaftar beasiswa untuk program Young Southeast Asian Leaders Initiative dari pemerintah Amerika Serikat, ia lalu berhasil memperolehnya. Selama lima minggu ia digodok di University of Nebraska di kota Omaha, untuk belajar mengenai pengembangan keterlibatan warga (Civic Engagement) dan kepemimpinan.
"Yang pertama itu sih aku merasa bangga, karena aku pola pikirnya berubah, lebih baik, terus leadership skils-nya juga, dan public speaking juga, karena harus ngomong di depan teman-teman dan yang paling pentingnya lagi adalah aku harus practice bahasa Inggris setiap hari sama teman-teman yang lain,” ujar Obin.
Tahun 2015, Obin terpilih untuk mengikuti program dari Kemenristekdikti (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI) untuk pergi ke Ende, Nusa Tenggara Timur.
Tak lama setelah Obin mengikuti program itu, Obin kemudian mendaftarkan dirinya untuk melanjutkan pendidikan studi S2.
“Karena aku dulu waktu pertama kerja aku udah membuat semacam goal satu target, dalam waktu dua tahun aku mau lanjut lagi s2 di bidang sosial, karena pekerjaan aku selama ini sosial tapi karena background aku itu fisika kadang orang merasa kalau aku prakteknya udah banyak, cuman di teori enggak ada. Nggak ada degreenya di teorinya,” ungkapnya.
Obin berhasil lulus lewat beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Pendidikan) di berbagai universitas di Amerika Serikat, Australia, Belanda dan Inggris.
"(Mamak) kalau enggak salah lagi metik cabe, terus katanya dia langsung kayak berlutut gitu, ucapan syukur gitu lho. Di deket pohon cabe,” ujarnya.
Obin lalu memutuskan untuk memilih Columbia University, sebuah universitas prestisius atau Ivy League di New York di jurusan 'social work' (pekerjaan sosial).
“Yang lucunya aku cerita ke orang tua, ke Bapak sama Mamak kan, aku lolos Columbia University di Amerika. Terus kata mereka, bukannya di ucapin selamat, ini enggak. ‘Loh kenapa ke Amerika lagi? Bukannya kemaren mau ke Inggris?” bebernya.
Sampai di Amerika Serikat dan mendapatkan banyak tugas sempat membuat Obin patah semangat dan tubuhnya menjadi kurus. Meskipun ia mengalami sedikit kendala dalam hal bahasa, namun Obin tetap semangat dan berusaha untuk beradaptasi di kampus barunya.
“Aku udah targetin, setiap mata kuliah itu aku at least nanya satu atau jawab satu. Kalau memang bisa lebih lebih bagus, tapi at least satu,” ujar Obin.
Saat kuliah Obin kembali menjadi mahasiswa yang aktif berorganisasi. Ia menjadi salah satu tim pemasaran untuk PERMIAS (Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat) dan mendirikan International Student Caucus di kampus bersama teman-temannya.
Tahun 2018, Obin berhasil menyelesaikan pendidikannya dan memboyong kedua orang tuanya ke Amerika untuk hadir di wisudanya dengan hasil tabungannya selama ini.
“Akhirnya tercapailah mimpi aku itu. Aku bilang harus berdua, karena waktu S1 kan cuman (Mamak). Jadi kalau kali ini harus berdua,” ujar Obin.
Kini, Obin bekerja di lembaga nirlaba, Queens Community House di New York, sebagai Counseling Specialist.
Saat kuliah, Obin selalu berpegang teguh pada prinsip hidupnya "Jujur, berani dan mau berjuang".
“Kita harus jujur sama diri kita sendiri, let’s say kalau ada sesuatu yang memang kita enggak sanggup, ya bilang enggak sanggup. Dan kita jujur sama diri kita sendiri. Kita itu orangnya gimana?
Karena jujur sama diri sendiri itu penting. Ketika kita jujur dengan diri kita sendiri, kita tahu apa yang harus kita lakukan. Kemudian kita harus berani. Berani untuk melangkah. Untuk take risk. Jadi harus ada yang dikorbankan,” ujar Obin.
Satu hal yang tak kalah penting menurutnya ialah kemauan untuk berjuang mendapatkan sesuatu.
“Jadi aku sih berharapnya gitu. Makanya aku bikin itu jadi moto aku sendiri. Be honest. Be brave. Be willing,” ucapnya.
sumber
Selamat.... Jadilah inspirasi bagi kaum milenial di Dairi tercinta
ReplyDeleteSelamat
ReplyDelete