Perlukah Guru Marah?
USAI mengikuti bimbingan belajar kami tak langsung
pulang ke rumah. Malam itu saya memacu motor menuju ke sebuah rumah makan
langganan. Sembari menunggu pesanan, saya iseng bertanya pada puteraku, “Dari
empat tempat belajarmu nak, yang mana paling kau suka?”
Jawabannya spontan dan menohok yang membuatku
tertegun. Dari empat kegiatan belajar yang rutin diikuti, sekolah formal dia
letakan di ranking terakhir. Suasana belajar di sekolahnya menurutnya, kurang
menyenangkan.
Saya maklum. Mungkin gurunya terlalu serius sehingga
membuatnya tertekan. Tapi sebagai catatan pembanding justru kegiatan belajar
nonformal (bimbel, les bahasa Inggris, madrasah sore) membuatnya simpatik.
“Gurunya menyenangkan, ketawa-ketawa, lucu dan tidak suka marah-marah,” terang
anak langganan tiga besar di kelasnya ini.
Marah atau amarah adalah perasaan emosional lazim
terjadi pada setiap orang. Biasanya dipicu karena tidak singkron antara kata
hati dan fakta yang diinginkan. Menangani amarah dalam kondisi tubuh tak prima
biasanya berefek “ke mana-mana”. Misalnya berhubungan dengan kesehatan.
Guru adalah manusia biasa. Sudah pasti pernah
mengalami hal seperti itu. Modal utama seorang pendidik adalah kesehatan
jasmani dan rohani yang prima. Akan menjadi masalah serius bila guru tidak bisa
mengendalikan amarah saat menjalankan tugas. Terkadang harus mengeraskan suara
yang ditafsirkan oleh siswa sebagai sebuah kemarahan. Kesan seperti ini harus
dijaga sehingga tak ada yang menjadi korban.
Guru merupakan kedudukan terhormat dan mulia di
masyarakat sebagai agen perubahan dan sosok yang memiliki tanggung jawab moral,
akademik, sosial dan profesional sesuai bidang keahliannya.
Guru memiliki
segudang metode dalam menjalankan perannya sebagai kekayaan profesional yang
tak dimiliki oleh profesi lain.
Dave Meir (2000) mengatakan bahwa emosi berpengaruh
besar pada kualitas dan kuantitas pembelajaran. Emosi positif dapat mempercepat
proses pembelajaran dan mencapai hasil yang lebih baik. Sebaliknya emosi
negatif dapat memperlambat proses pembelajaran atau bahkan menghentikannya sama
sekali. Oleh karena itu pembelajaran yang berhasil haruslah dimulai dengan
menciptakan emosi positif pada diri pengajar (guru) dan pembelajar (peserta
didik).
Guru berupaya dengan berbagai metode agar tujuan
pembelajaran tercapai. Menerapkan metode dengan emosi negatif akan berbahaya
bagi psikologis peserta didik. Bahkan dapat menjatuhkan wibawa guru di hadapan
peserta didik. Sebaliknya guru membutuhkan emosi positif untuk menangani
peserta didik.
Arifuddin M. Arif (2013:93) dalam bukunya, “The
Magic of Teaching” mengatakan bahwa selain menguasai metode, pendidik harus
memiliki performance atau gaya (style). Gaya mengajar harus disingkronkan
dengan karakter, waktu dan keadaan peserta didik. Sebagai contoh, gaya mengajar
pada pagi hari tentu sangat berbeda dengan gaya mengajar pada siang hari.
Performance atau gaya (style) mengajar ini terbagi
dalam empat bagian, yaitu:
1. SLOW Style
Gaya atau penampilan yang dingin, serius dan
memperlihatkan kematangan. Guru banyak menggunakan tatapan mata dalam
berkomunikasi untuk menajamkan perhatian pada satu per satu audiens (peserta
didik).
2. HERO Style
Gaya ini ditandai dengan penampilan yang penuh
semangat dan berapi-api. Banyak teriakan yang harus dikeluarkan dan
gerakan-gerakan tegas yang menyimbolkan bahwa guru penuh antusias dan enerjik.
3. HAPPY Style
Penampilan ini lebih banyak memunculkan cerita,
kelucuan dan banyak menggunakan metafora dalam pembicaraan. Guru harus banyak
menggunakan permainan dan mengadakan diskusi untuk memahami sesuatu.
4. WISDOM Style
Gaya ini mengajak untuk merefleksi. Bicara tentang
spiritualitas dan kebijaksanaan.
Untuk menerapkan style tersebut harus mengenal dan
memahami momentum. Penggunaan style disesuaikan dengan ketepatan karakter waktu
karena tubuh manusia memiliki energy yang mempengaruhi keadaan personal guru
dan peserta didik.
Agung Webe (2010:60) memetakan dasar-dasar waktu
dengan membaginya dalam enam bagian dari
24 jam aktivitas manusia, sebagai
beikut:
-Jam 06.00 – 09.00.
Kurun waktu
ini dinamakan GREEN STAGE. Pada kurun waktu ini otak manusia masih rileks dan
masih segar untuk menerima segala macam informasi yang masuk.
-Jam 09.00 – 12.00
Kurun waktu ini dinamakan YELLOW STAGE. Kurun waktu
ini otak diambang mulai jenuh dengan hal-hal yang ia terima.
-Jam 12.00 – 15.00
Waktu ini disebut RED STAGE. Pada kurun waktu ini
otak dalam keadaan jenuh untuk menerima segala macam informasi yang masuk
-Jam 15.00 – 18.00
Kurun waktu ini disebut WHITE STAGE. Di waktu ini
otak dalam keadaan netral. Otak sedang mempersiapkan diri untuk rileks pada
fase selanjutnya.
-Jam 18.00 – 24.00
Kurun waktu ini dinamakan BLACK STAGE. Kurun waktu
ini otak dalam keadaan rileks yang bisa berubah. Maksudnya adalah bisa menjadi
GREEN, YELLOW, RED ataupun WHITE STAGE. Tergantung dari kondisi yang tercipta
pada kegiatan sebelumnya.
-Jam 24.00 – 06.00
Kurun waktu ini dinamakan GREY STAGE. Pada kurun ini
otak dalam keadaan rileks yang dalam, karena harus beristirahat setelah
beraktifitas pada stage sebelumnya.
Untuk menyesuaikan ketepatan waktu dalam startegi
penerapannya dapat diuraikan berikut ini:
– Jam 06.00 – 09.00 (Green Stage)
Pada waktu ini pendidik bisa menggunakan slow style
pada sebagian besar (90%). Apabila membuka dengan happy style, jangan terlalu
banyak dan jangan terlalu sering. Guru juga bisa membuat pembukaan dengan
wisdom style. Pada waktu ini guru belum membutuhkan hero style.
-Jam 09.00 – 12.00 (Yellow Stage)
Pada posisi waktu ini bisa saja menggunakan dua
style dengan persentase yang berbeda. Yaitu 70% untuk happy style dan 30% untuk
hero style.
-Jam 12.00 – 15.00 (Red Stage)
Dalam kurun waktu ini guru cukup menggunakan dua
style dengan persentase yang berbeda, yaitu 70% untuk hero style dan 30 % untuk
happy style.
-Jam 15.00 – 18.00 (White Stage)
Dalam kurun waktu ini guru bisa menggunakan empat
macam style dengan persentase yang sama, yaitu 25% untuk happy style, 25% hero
style, 25% slow style dan 25% wisdom style.
Jam 18.00 – 24.00 (Black Stage)
Pada kurun waktu ini gunakan 50% untuk happy style
dan 50% untuk wisdom style. Wisdom Style lebih banyak ditekankan kepada
refleksi materi yang diberikan siang harinya. Apabila guru memang mengarahkan
sebuah semangat, bisa juga menggunakan hero style dalam kombinasi yang tidak
terlalu banyak.
Jam 24.00 – 06.00 (Grey Stage)
Pada posisi waktu ini gunakan sebagaian besar untuk
wisdom style.
Kombinasi waktu tersebut hanya merupakan tawaran
yang bisa dikondisikan dengan keadaan
lingkungan masing-masing. Utamanya kondisi peserta didik dan materi yang
diajarkan.
Saat ini pembelajaran berbasis IT (teknologi
informasi) cukup pesat. Mendorong guru menyajikan materi pembelajaran agar
siswa termotivasi. Berbagai fitur-fitur menarik di berbagai aplikasi dapat
membantu guru dalam proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.
Nah, kalau sudah menyenangkan, mengapa harus
“marah-marah”. ***
Oleh: Nawir Lakawa, SE
(Guru Madrasah pada MTs Alkhairaat Pandere Kab.
Sigi-Sulawesi Tengah)
Post a Comment