Sukses Kesumat


Dua unggahan ini sungguh sulit untuk tidak direspon. Karena isinya persis. Sama-sama memposting kisah sukses seseorang. Di media sosial. Dengan caption yang ditujukan untuk guru-gurunya.

Sosok tersebut pasti dianggap hero bagi yang melihatnya dari satu sisi. Apalagi jika tipe nya sejenis. Maksudnya, dulu pernah jadi siswa yang non hormat dan patuh terhadap orang yang lebih tua. Non rajin masuk kelas. Dan non pintar secara akademik. Sehingga pernah dikecewakan oleh ucapan, tindakan, ataupun bully-an gurunya.

Memang. Siswa yang pintar di kelas belum tentu pintar di kehidupan nyata. Keduanya merupakan dua kelas yang berbeda. Siswa yang berkategori biasa-biasa justru kehidupannya bisa lebih sukses. Hidupnya bisa lebih mapan. Contohnya juga sudah banyak.

Tapi mengumbar foto lalu membuat caption yang ditujukan khusus untuk gurunya. Sambil menceritakan keberhasilan ambisi dan membandingkannya dengan rasa sakit hatinya dulu, apakah bukan termasuk kategori dendam bin kesumat?

Saya pernah kenal dengan seorang dosen. Yang ketika SD bersekolah di bumi Parahiyangan. Pada satu ketika, saat beliau diminta untuk ikut lomba cerdas cermat, hasilnya tak sesuai dengan yang diharapkan. Gurunya pun kecewa. Lantas menyebut dosen itu dengan sebutan ‘Belet’ (bahasa Sunda: artinya bodoh). Dan ‘Tuk’ (dekil).

Ucapan itu jelas membekas di dalam di hatinya. Namun dijadikan cambukan. Motivasi.
Dibuktikannya dengan berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri. Menjadi master. Kemudian menjadi dosen. Yang bahkan buku yang ditulisnya pun sudah digunakan oleh siswa SMK se Indonesia.

Ketika berinteraksi di lingkungan sekolah, kata-kata negatif yang bersifat meremehkan kemampuan peserta didik memang sulit untuk dicegah. Bisa dari pendidik, pembimbing siswa selama masa magang, teman-temannya, atau dari orang lain.

Saya memang baru 8 tahun menjadi guru. Namun sebisa mungkin menghindari kalimat-kalimat yang menjatuhkan itu. Karena dalam pelatihan hipnoterapi yang pernah kami ikuti, kalimat negatif akan mejadi sugesti buruk bagi siswa.

Apalagi pada saat pembelajaran. Gelombang otak siswa bisa mencapai gelombang alfa, theta ataupun delta. Gelombang ini bisa diraih pada awal pembelajaran, dengan tingkat fokus yang tinggi. Pada kondisi ini, otak mereka akan begitu reseptif. Mudah menerima.

“Saya ingin melihat kalian semua sukses,” kata saya kepada mereka. Sebegitu seringnya. Sama seringnya dengan mengucapkan salam atau selamat pagi.

Berbicara begitu, saya ingin mereka menjadi suksesor yang baik apapun bidangnya. Yang lebih menginginkan sukses kesumat dibanding dendamnya. Dengan tetap menghargai guru karena adabnya.

No comments