Kisah dr Tjipto Mangunkusumo Melawan Pandemi
Inilah penggalan ucapan dr Tjipto Mangunkusumo yang diabadikan pada rumah sakit terkemuka: "Kalau nanti aku harus menanggung segala akibat dari kata-kata keras yang keluarkan dari jiwa yang pedih, aku akan bersyukur kepada Allah untuk keadilan-Nya yang memberikan kenikmatan kepadaku dalam hukuman: kenikmatan bahwa aku dapat berbuat jasa bagi bangsaku. Tuntunlah aku, siksalah aku, aku tiada gentar!"
Tjipto Mangunkusumo yang juga salah satu pendiri Boedi
Oetomo (BO), adalah anak sulung dari Mangunkusumo, seorang priyai golongan
rendah dari struktur masyarakat Jawa.
Ayahnya merupakan kepala sekolah dasar di Semarang, Jawa
Tengah, yang kemudian menjadi administratur pemerintah kolonial Hindia Belanda di
kota itu. Sementara itu ibunya, merupakan anak dari seorang tuan tanah di
daerah Mayong, Jepara.
Dikutip dari tirto.id, ada 2 versi yang berkaitan dengan
kelahiran Tjipto, versi pertama hanya menyebutkan dirinya lahir di desa
Pecangkan. Tanpa dijelaskan di mana lokasi desa itu berada. Lokasi ini berasal
dari karya Akira Nagazumi (1989) yang berjudul Bangkitya Nasionalisme
Indonesia.
Sementara pada versi kedua, desa yang dimaksud tersebut
itu berada di dekat Jepara. Hal ini bedasarkan buku Achmad Baidowi &
Dalimun Sentono (1979) dalam buku berjudul Tiga Serangkai.
Selain tempat, ada yang menyebut waktu kelahiran Tjipto
Mangunkusumo yang lahir pada 1883, tapi ada pula yang menyakini bahwa salah
satu anggota Tiga Serangkai bersama Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara dan
Ki Hadjar Dewantara itu lahir pada 1886.
Tjipto sendiri merupakan dokter lulusan STOVIA, sekolah
dokter Jawa yang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saat
menempuh studi di STOVIA itulah ia sempat turut dalam pembentukan Boedi Oetmo
(BO) pada 1908 yang didapuk menjadi organisasi kebangsaan pertama di Indonesia.
Dirinya adalah aktivis angkatan pertama BO selain
nama-nama populer lain macam Wahidin Sudirohusudo, Radjiman Widyodiningrat,
Soetomo. Namun Tjipto sendiri tidak lama menjadi anggota BO, perbedaan pendapat
dengan Radjiman Widyodiningrat membuat dirinya keluar.
Membasmi Wabah Pes di Malang
Pada tahun 1910, wabah Pes merebak di Malang. Penyakit
yang disebabkan karena kutu tikus itu sangat mudah menyebar dan sulit ditangani
karena sarana kesehatan dan alat-alat dokter yang tidak memadai. Ditambah itu
banyak dokter Belanda yang tidak mau pergi ke Malang untuk menyembuhkan para
penderita Pes.
Mengetahui itu, Tjipto sangat geram. Kemudian ia
memberanikan diri menjadi dokter dinas pemerintah agar bisa ditempatkan di
Malang. Sesampainya di Malang, ia kemudian membantu menyembuhkan para penderita
Pes.
Di Eropa sendiri, pada abad ke 14, sepertiga penduduk
tewas akibat wabah Pes, dan jika digabung dengan peristiwa serentak di Asia,
India, Timur Tengah, plus Tiongkok, pandemi itu menelan 75 juta nyawa. Orang
menyebutnya, Maut Hitam.
Sementara itu, di Jawa adalah masa penuh rasisme. Politik
pembelahan masyarakat bedasarkan warna kulit dan asal-usul menjangkiti kaum
borjuasi Belanda. Jangkan mendekati tikus pembawa pes, bule-bule ini tidak mau
berdekatan dengan orang-orang pribumi sehari-hari.
Hal inilah yang membuat, wabah pes di Malang, kalau tidak
cepat ditangani, bisa menyebar ke daerah lain. Dari situlah Dokter Tjipto
Mangunkoesoemo punya peran. Tanpa memakai masker atau tutup hidung dan mulut.
dr. Tjipto tanpa gentar memasuki pelosok-pelosok desa di
Malang guna membasmi pes. Selama pemberantasan pes itu, Tjipto menyebut bahwa
pemerintah Hindia Belanda telah meminta 20 dokter. Dua orang dari
kawan-kawannya telah menyatakan kesediaan.
Saat mengobati wabah pes di Malang, Tjipto berhasil
menyelamatkan seorang anak perempuan yang hampir terbunuh. Saat itu, Tjipto
mendengar tangisan anak dari sebuah rumah seorang penderita pes. Rumah itu
sudah setengah terbakar. Dengan sigap dia menggendong anak perempuan yang
menderita Pes itu.
Ia pun kemudian mengobati anak itu sampai sembuh. Anak
perempuan yang diselamatkannya itu sudah yatim piatu karena kedua orang tuanya
meninggal akibat Pes. Tjipto kemudian mengangkatnya sebagai anak dan diberi
nama Pestiati. Pestiati-lah yang setia merawat Tjipto hingga akhir hayat.
Atas jasanya dalam membaswi wabah Pes, pada tahun 1912,
dr Tjipto Mangunkusumo mendapat penghargaan dari Ratu Wilhelmina, dilansir dari
Kemendikbud.go.id, penghargaan itu berupa suatu bintang jasa Ridder In De Orde
Van Oranje Nassau.
Namun, tidak sampai satu tahun Tjipto mengembalikan
bintang jasa itu. Alasannya dia tidak diijinkan untuk menangani wabah Pes di
Solo. Soal bintang jasa itu, Tjipto punya kisah unik dalam mengekspresikan
kekesalannya pada pemerintah kolonial.
Dia menempelkan bintang jasa itu di kantung belakang
celananya, hingga, bila ada serdadu yang harus hormat pada penghargaan itu, dia
harus hormat kepada pantat Tjipto Mangunkusumo. (sumber)
Post a Comment