Bakso Manusia (Bagian 1)

 


"Bang, baksonya satu porsi ya!" teriak Wawan lantang.

Sudah seminggu ini Wawan menjadi langganan bakso Bang Gugun. Disamping rasanya lumayan, harganya juga tak menguras kantong bahkan terkenal sangat murah daripada yang lainnya.

Bayangkan saja, satu porsi terdiri dari 2 pentol besar dan 5 pentol kecil-kecil plus tahu juga. Itupun dibanderol dengan harga lima ribu rupiah saja.

Tak ayal Wawan sering merekomendasikan kepada teman-teman seprofesinya, yaitu para tukang ojek pangkalan. Berkat info dari Wawan lah bakso Bang Gugun menjadi ramai pengunjung.

"Berapa Bang? saya tadi nambah kerupuk 3" tanya Wawan sambil merogoh dompetnya.

"Nggak usah, gratis buat Mas Wawan. Kan Mas bantuin saya promosi," ujar Bang Gugun.

"Wah, terima kasih ya Bang. Baksonya enak, dikasi gratis pula," ucap Wawan sambil tersenyum.

Bang Gugun hanya membalas dengan senyuman. Setelah itu, dia bergegas melayani pembeli yang lain. Meski warung baksonya ramai pengunjung, entah kenapa dia tidak mempekerjakan orang lain.

Seringkali pelanggannya menegur agar ada yang membantunya agar tidak terjadi antrian, namun dia berdalih masih bisa mengerjakannya sendiri.

***

Sebulan yang lalu warung bakso ini terlihat biasa saja. Bahkan seringkali mendapati sepi pengunjung. Bang Gugun yang kala itu masih ditemani sang istri, seringkali terlihat menopang dagu menunggu pembeli.

Namun setelah kepergian sang istri, bang Gugun kemudian membanting harga dengan dalih mau menghabiskan stok daging agar bisa pulang kampung secepatnya.

Jika ada yang bertanya keberadaan sang istri, dengan tegas Bang Gugun mengatakan jika istrinya pergi dengan lelaki lain karena tak tahan dengan keadaan dirinya.

"Bang, baksonya dong satu porsi," ucap Wawan mengagetkan Bang Gugun yang sedang mencuci mangkok.

"Siap Mas," ucapnya sambil mengacungkan jempolnya.

"Kali ini aku bayar ya Bang, nggak enak tiap hari gratis terus," ucap Wawan.

"Nggak usah Mas, kan Mas bantuin saya promosi," ucap lelaki yang berperawakan atletis dan berkulit langsat itu.

"Ya sudah, kalau begitu saya bantuin cuci mangkok ya," ucap Wawan dengan sedikit memaksa.

"Jangan Mas, lebih baik mas pulang saja kan ini sudah mau maghrib. Kasian loh istrinya menunggu," ucap Bang Gugun lagi.

"Nggak apa-apa Mas, tadi saya sudah nelpon kok," ujar Wawan lagi.

Awalnya Bang Gugun bersikeras menolak, namun setelah Wawan terus mendesak akhirnya mengizinkan juga.

Dengan berat hati ia membiarkan Wawan dengan leluasa bergerak ke dapurnya. Senyum yang biasanya ia umbar, kini berubah menjadi masam. Bahkan ia kehilangan fokus melayani pembeli, karena lebih memperhatikan gerak gerik Wawan.

Tangan Wawan sibuk dengan sabun dan mangkok, tiba-tiba telinganya mendengar seorang perempuan menangis.

Seketika Wawan menghentikan pekerjaan dan lebih mempertajam pendengarannya. Ya, dia mendengar tangisan seorang perempuan dari sebuah kamar. Makin didengarkan makin jelas pula suaranya.

Dengan langkah yang sengaja dipelankan, Wawan menghampiri kamar tersebut. Suaranya begitu menyayat hati, seakan sedang menanggung beban yang begitu berat.

Dia berusaha meraih gagang pintu dan hampir berhasil. Namun tiba-tiba sebuah tangan meraih pundaknya dengan kasar.

"Ngapain Mas ke kamar saya?" tanya Bang Gugun dengan mata sedikit mendelik.

"Anu Bang ...." ucap Wawan terpotong.

"Kamu mau maling ya?" tanya Bang Gugun lagi.

"Nggak Bang, sumpah!. Tadi aku mendengar ada perempuan menangis," jelas Wawan meyakinkannya Bang Gugun.

"Nggak usah alasan Mas, mana ada perempuan disini. Lha wong saya tinggal sendiri," jelas Bang Gugun.

"Maafkan saya Bang, mungkin tadi salah dengar," ucap Wawan tertunduk.

"Baiklah, kali ini saya maafkan dan jangan sampai terulang lagi," ucap Bang Gugun.

"Terimakasih Bang," jawab Wawan sambil meraih tangan Bang Gugun.

***Bersambung

Sumber:

https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=3739294379465759


No comments