Bahagia Menurut Mereka
Jelang berakhirnya sesi pembelajaran, saya melempar beberapa pertanyaan ringan.
“Apa yang menjadi tujuan hidup anda,” tanya saya kepada lima peserta yang hadir. Mata mereka
saya tatapi satu per satu. Dibarengi dua - tiga kali senyum lebar. Sengaja
dibuat rileks, karena ini memang forum non formal.
Satu menit
pertama begitu hening. Belum ada yang menjawab.
Saya jadi
teringat latar belakang mereka. Yang rerata telah menyelesaikan sekolahnya 3-4
tahun yang lalu. Yang paling senior berumur hampir 29 tahun. Artinya sudah
tidak mengecap pendidikan formal selama hampir satu dasawarsa.
Hal itu pula yang
membuat saya memberikan jawaban pancingan.
“Hidup bahagia
pak,” sahut suara dari ujung. Ia lah peserta yang paling senior tadi. Nama depannya
sama dengan saya: Surya.
Meskipun singkat,
tapi jawaban ini menarik. Naluri saya ingin menggalinya lebih dalam. Terutama untuk
mengetahui: alasan apa yang membuat bang Surya menjawab dengan kalimat itu.
“Hidup bahagia yang bagaimana yang abang inginkan,” tanya saya memutar pandangan ke arahnya. Tangan kanannya
memutar gelas kemasan air mineral. Mungkin untuk mempercepat jalan
neuron-sensorik.
“Ya hidup
bahagia. Misalnya, ehm…… hidup dengan bebas….. lepas…..pikiran tenang….dan
nggak ada hutang pak,” jawabnya terbata-bata. Posisi duduk tangkai kacamata
sesekali dibenahi dengan bentangan ibu jari dan telunjuknya.
Suara ngaji
mulai terdengar dari corong masjid. Beberapa peserta lain ada yang cengengesan
menanggapi jawaban bang Surya. Ada juga yang sedang menyiapkan jawaban. Seperti
tergerak untuk memberikan tanggapan.
Hari itu, Rabu 2
September 2020, memang menjadi jadwal saya untuk mengisi materi pada PKBM Ayah
Bunda. Diselenggarakan dengan protokol kesehatan yang ketat, agendanya untuk
memberikan materi kepada peserta Program Pendidikan Kecakapan Kerja (PKK).
Kebetulan kompetensi
yang diselenggarakan, sama dengan yang saya ampu di sekolah.
Peserta progam
PKK ini merupakan warga sekitar PKBM. Yang umumnya belum memiliki pekerjaan
tetap. Sehingga dirasa perlu untuk membekalinya dengan keterampilan tambahan. Dengan
harapan, mereka bisa bekerja pada sektor jasa sesuai keterampilan yang dimiliki.
Atau menjadi wirausahawan.
Menjelang penutupan,
saya kembali bertanya kepada bang Surya.
“Lalu, apakah sekarang abang sudah merasa hidup
bahagia?” tanya saya
sekilas lalu. Satu peserta membantu saya mengumpulkan bahan praktik. Pertanyaan
itu, tidak dijawab oleh bang Surya pun tak mengapa.
“Belum pak,”
katanya. Jawaban yang diberikan meleset dengan tebakan saya. Karena sejak
pertemuan pertama, bang Surya inilah yang terlihat paling lepas. Tenang. Dan bebas.
Atau jangan-jangan? Bang Surya sedang memberikan tips untuk mendapatkan bahagia dengan cara yang mudah? Atau?
Ah, ya sudahlah.
Yang penting hari ini saya bisa belajar lagi tentang makna bahagia dari forum
yang lain. Bukan dari forum akademik. Yang selalu akrab dengan kaidah
keilmuannya itu. (sap)
Post a Comment