Penjinak Singa

 


Namanya Irfan. Saat kami hampiri, ia tengah berada satu kandang dengan dua ekor singa betina. Serta satu ekor jantan yang sudah lebat rambut surainya.

Dari luar saya perhatikan, bang Irfan seperti sudah memodifikasi perilaku hewan buas itu. Karena terlihat sangat jinak. Penurut. Tak ada rasa canggung untuk meladeni permainan kucing besar itu.

“Yang ini namanya Mona. Itu namanya Moni. Sedangkan yang dekat kandang namanya King. Itu singa jantan,” terang bang Irfan. Si Mona meraih mainan pipa yang ada di tangannya. Hingga nyaris berdiri.

Ketiga singa itu berasal dari Afrika. Saya tak ingin mencari tahu bagaimana caranya singa itu bisa masuk ke Indonesia.

Si Mona dan Moni berumur satu tahun. Sedangkan King lebih tua setahun dari keduanya.

Sebenarnya ada satu singa lagi yang menjadi asuhan bang Irfan.

“Meninggal karena kelainan gen bang. Jenisnya singa albino. Bangkainya diawetkan, dan dipajang di museum ini,” katanya menjelaskan.

Menurut bang Irfan, merawat hewan buas seperti singa, sama seperti merawat hewan sejenis dengan ukuran yang lebih kecil, misalnya kucing.

“Harus dirawat layaknya manusia bang. Pakai perasaan. Dan hilangkan rasa takut saat dekat dengan mereka,” ungkapnya.

Baik si Mona, Moni, maupun King, diasuh bang Irfan ketika umurnya baru 3 bulan. Bang Irfan pula yang memberinya makanan.

“Kita beri mereka daging ayam yang direbus. Bukan yang masih hidup. Karena kita khawatir ada bakteri yang bisa mengganggu kesehatannya,” kata bang Irfan, yang sebelum dipercaya untuk mengasuh singa, merupakan penjinak orang utan.

Penjinak singa seperti bang Irfan, merupakan profesi yang belum tentu orang lain mampu menekuninya. Profesi ini tidak lahir dari pendidikan formal. Melainkan karena ada faktor aroma tangan, serta bakat khusus yang dimiliki.

No comments