Tim Sembilan (Bagian-3)

Oleh: Suryaman Amipriono

Maka untuk mewujudkan keinginan itu, dicarilah satu tempat. Yang kalau bisa lokasinya nyaman. Murah. Dan dekat dengan tempat kerja.

Setelah dipertimbangkan dengan matang, maka diputuskanlah satu tempat yang paling memenuhi syarat: Kos-nya Miko dan Adrizal. Jaraknya hanya sepelarian jogging.

Tempat kos ini berada pada satu rumah sederhana. Sepertinya didisain sebagai kios kecil untuk tempat usaha.

Pada kios, eh, tempat kos Miko dan Adrizal itu, ada satu kamar yang disekat. Adrizal berada pada sisi depan. Yang langsung berhadapan dengan bagian luar jika pintu kos dibuka.

Sedangkan Miko berada pada bagian dalam. Dengan pembatas dinding beton. Dan dekat dengan kamar mandi. Satu kipas kecil digantung pada langit-langit kamar. Persis di atas pembaringan tidurnya.

Di kos-an inilah kami bermarkas. Sederhana. Dan, legend.

Tempat ini menjadi lokasi kami berteduh di kala hujan. Tempat bertemu jika akan berangkat bareng ke acara sekolah. misalnya pengajian dan undangan. Arena berkonsolidasi. Mengadakan rapat kecil sambil makan-makan. Untuk mencari solusi.

Hingga tanpa sadar, di antara kami terikat persaudaraan yang makin kuat. Bukan hanya antara anggota tim. Tapi juga dengan ibu pemilik kos.

Reputasi Tim Sembilan sendiri pernah melambung. Tinggi. Tinggi sekali. Sehingga saking tingginya, dianggap membahayakan stabilitas kekompakan organisasi.

Jadi, peristiwa itu terjadi pada tahun 2012.

Salah satu anggota tim, bang Adi Putra menikah. Saya didaulat untuk hadir pada acara akad nikahnya. Pada satu masjid, yang dekat dengan kediaman beliau.

Maka setelah akad selesai, diadakanlah resepsi keesokan harinya. Pestanya meriah. Tamu yang datang ramai. Termasuklah para petinggi dan atasan kami.

Tidak ada yang aneh ketika mereka menikmati hidangan yang disajikan. Termasuk ketika berjalan pulang, dan melewati deretan papan bunga ucapan selamat.

Keanehan justru terjadi keesokan harinya. Saat rutinitas tugas tiba.

Tetiba saya dipanggil kepala sekolah.

“Siapa yang masang papan bunga itu Man,” tanya pimpinan setelah saya mendekat. Kepada beliau saya amat hormat.

“Papan bunga yang mana pak?” tanya saya heran.

“Ucapan selamat untuk kawinan Adi dari Tim Sembilan!!!” matanya membulat. Raut mukanya pun menegas. Tapi saya tahu, hatinya tetap lembut.

“Hah….apa ada pak? Kok saya nggak tahu ya…” Papan bunga yang dimaksud pak Amri, nama pimpinan kami, memang belum ada saya lihat.

“Apa nggak adak… ini dia,” tangan kananya merogoh kantong. Lalu menunjukkan foto papan bunga ucapan selamat dari Tim-9. Dari foto saya lihat, ukuran papan bunga yang besar, membuatnya terlihat dominan.

“Apa maksud kelen ini. Siapa itu rupanya tim Sembilan. Sekolah kita ini solid. Nggak ada itu tim-tim,” katanya menasehati.

Berarti pengucapan tim yang selama ini kami dengar untuk tiap angkatan, hanya hukum tidak tertulis. Yang belum direstui pimpinan.



Begitu terkenalnya tragedi papan bunga itu, hingga dibahas dalam rapat dinas di sekolah. Dan belum diketahui siapa yang memesan sampai sekarang. Foto papan bunga itu dapat anda lihat di sini.

(Bersambung)


No comments